Thursday, September 5, 2013

Bolehnya Bertawassul Dengan Orang Saleh Yang Hidup atau Meninggal



"Dari Abu Sa'id al-Khudri, berkata: "Rasulullah bersabda: "Barangsiapa yang keluar dari rumahnya untuk melakukan shalat di masjid kemudian ia berdoa: "Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan derajat orang-orang yang berdoa kepada-Mu (baik yang masih hidup atau yang sudah meninggal) dan dengan derajat langkah-langkahku ketika berjalan ini, sesungguhnya aku keluar rumah bukan untuk menunjukkan sikap angkuh dan sombong, juga bukan karena riya' dan sum'ah, aku keluar rumah untuk menjauhi murka-Mu dan mencari ridha-Mu, maka aku memohon kepada-Mu, selamatkanlah aku dari api neraka dan ampunilah dosa-dosaku, sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau," maka Allah akan meridhainya dan tujuh puluh Malaikat memohonkan ampun baginya."

Hadits ini diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad (10729), Ibn Majah (770), Ibn al-Sunni dalam 'Amal al-Yaum wa al-Laylah, al-Thabarani dalan alDu'a', al-Baihaqi dalam al-Da'awat al-Kabir dan lainnya. Sanad hadits ini dinilai hasan oleh al-Hafizh al-Dimyathi dalam al-Matjar al-Rabih,  al-Hafizh al-Maqdisi sebagaimana dikemukakan oleh muridnya nl-Hafizh al-Mundziri dalam al-Targhib wa al-Tarhib, al-Hafizh al-'Iraqi (725-806 H/1325-1403 M) dalam al-Mughni, al-Hafizh Ibn Hajar dalam Nataij al-Afkar dan lain-lain. Bahkan al-Hafizh al-Bushiri berkata dalam Mishbah al-Zujajah (1/99) bahwa hadits ini diriwayatkan oleh al- Imam Ibn Khuzaimah dalam Shohih-nya sehingga dapat disimpulkan bahwa hadits ini bernilai shahih menurut Ibn Khuzaimah. Hadits ini menunjukkan dibolehkannya ber-tawassul dengan orang saleh, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Karena kata السائلين dalam hadits tersebut bersifat umum, mencakup mereka yang masih hidup ataupun sudah meninggal. Dalam hadits ini pula Nabi SAW mengajarkan untuk menggabungkan antara tawassul dengan al-dzawat al-fadhilah (seorang nabi atau wali dan orang saleh) dan tawassul dengan amal saleh. Beliau tidak membedakan antara keduanya, tawassul jenis pertama hukumnya boleh dan yang kedua juga boleh. Dalam hadits ini, tawassul dengan al-dzawat al-fadhilah ada pada redaksi بحق السائلين عليك  dan tawassul dengan amal saleh ada pada redaksi بحق ممشاي إليك

Hadits di atas dinilai hasan oleh para hafizh (gelar kesarjanaan tertinggi dalam disiplin ilmu hadits) seperti al-Hafizh al-Dimyathi, al-Maqdisi, al-'Iraqi, al-Hafizh Ibn Hajar dan lain-lain, bahkan al-Imam Ibn Khuzaimah menilainya shahih. Akan tetapi Mahrus Ali dalam bukunya, Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat & Dzikir Syirik, menilai dha'if jiddan hadits tersebut berdasarkan alasan, bahwa dalam sanad hadits tersebut terdapat perawi yang lemah. 

Dalam hal ini Mahrus Ali berkata:
"Hadits tersebut sangat lemah (dha'if jiddan) karena terdapat seorang perawi bernama Fadhl bin Muwaffaq yang lemah dan Fudhail bin Marzuq, seorang perawi yang selalu berkata benar, tertuduh syi'ah, suka melamun, dan menyampaikan hadits yang tidak tepat." (Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat & Dzikir Syirik, Cet ke-4, 2007, hal 30).

Tentu saja kritikan Mahrus Ali terhadap hadits di atas berangkat dari ketidakjujuran dan ketidaktahuan.

Pertama, kalau Mahrus Ali mau jujur, sebenarnya perawi yang bernama Fadhl bin Muwafiaq hanya terdapat dalam sanad Ibn Majah. Sementara dalam sanad Ahmad bin Hanbal, melalui jalur lain yaitu Yazid bin Harun, perawi tsujah dan mutqin (dipercaya dan sempurna dalam keilmuannya).

Kedua, perawi Fudhail bin Marzuq dinilai oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Tcujrib al-Tahdzib (1/448), sebagai perawi yang selalu berkata benar, mengalami kekeliruan menyampaikan hadits, dan tertuduh syi'ah. Komentar al-Hafizh Ibn Hajar terhadap Fudhail bin Marzuq seperti di atas dalam ilmu musthalah. Al-hadits dikategorikan sebagai pernyataan ta'dil dan tautsiq (penilaian positif dan dipercaya terhadap perawi) yang haditsnya dapat dinilai hasan. Oleh karena itu, menurut para hafizh, hadits tersebut bernilai hasan. Agaknya Mahrus Ali tidak memahami terhadap istilah ini sehingga menilai hadits di atas dha'if jiddan dan berlebih-lebihan menilai Fudhail bin Marzuq dengan pernyataan

Dan tentu pula, Mahrus Ali yang mendhaif jiddan-kan hadits tersebut dengan cara yang tidak jujur, tidak ada apaapanya jika kita bandingkan dengan al-Hafizh al-Dimyathi, al-Maqdisi, al-Iraqi dan al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani yang menilai hadits tersebut hasan.
Baca Selengkapnya ...
Sunday, May 19, 2013

Video Debat Terbuka NU vs Wahabi, Mahrus Ali Tidak Berani Datang


Debat Terbuka Wahabi versus NU di IAIN Sunan Ampel Surabaya bedah buku "Mantan Kiai NU menggugat Sholawat & Dzikir Syirik" karangan Mahrus Ali, seorang kakek-kakek yang mengaku-ngaku sebagai mantan Kiai NU padahal sama sekali Bukan.

Sebenarnya Mahrus Ali diundang untuk hadir langsung untuk mempertanggungjawabkan tulisannya di forum debat terbuka ini, namun karena memang Mahrus Ali penakut jadi tidak datang. Maklumlah adanya buku tersebut dia bikin juga hasil copy paste dari internet saja.

Simak videonya dibawah ini :

Baca Selengkapnya ...

Video Membongkar Kebohongan Buku "Mantan Kyai NU Menggugat Shalawat dan Dzikir Syirik"

Video ini berisi tentang acara Bedah Buku karya Seorang Wahabi yang mengaku-ngaku Kyai NU yaitu MAHRUS ALI. Mahrus Ali mengarang buku yang berjudul "Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat dan Dzikir Syirik", dan buku tersebut telah dibantah oleh NU. Silahkan simak video ini:
Bagian 1

Bagian 2

Baca Selengkapnya ...
Tuesday, October 2, 2012

Fatwa Jenaka Mahrus Ali Wahabi Yang Mengharamkan Daging Ayam

Sebelum saya memposting artikel ini, ijinkan saya untuk ketawa terlebih dahulu samfe terfingkal-fingkal kohh,, wkwkwkwk :D =D =)) =)) 

Mahrus Ali berkata:
Saya tidak makan daging ayam sampai sekarang karena  saya menjumpai hadis ini:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ وَعَنْ كُلِّ ذِي مِخْلَبٍ مِنَ الطَّيْرِ
Rasulullah SAW melarang  setiapbinatang buas bertaring dan setiap burung yang punya cakar [1]

Sayangnya cakar di situ di artikan cengkerem. Ini penyimpangan dan menyalahi arti sebenarnya. Lihat seluruh kamus arti Mikhlab adalah cakar bukan cengkerem. Sudah tentu  saya tidak makan daging burung, Ayam, Bebek dll.

Anda menyatakan lagi:
An-Nawawi rahimahulah berkata: “Para pengikut madzhab kami sepakat bahwa halal untuk makan burung unta, ayam, … itik, burung al-qatha, ‘ushfur (seperti burung pipit), burung qumburah (yang berjambul), burung durraj, dan merpati (dara).” (Syarh al-Muhadzdzab 7/22)

Komentarku ( Mahrus ali )

Arabnya  sedemikian:

المجموع شرح المهذب - (ج 9 / ص 21)
اتفق أصحابنا على أنه يحل أكل النعامة والدجاج والكركي والحباري والحجل والبط والقطا والعصافير والقنابر والدراج والحمام

Pengikut madzhab Syafii telah sepakat untuk menghalalkan burung unta, Ayam, Karaki dan puyuh, Dan bebek, dan burung-burung kecil ( Greja  dll )  Alqta dan bom, ayam hutan, merpati

Komentarku ( Mahrus ali )
     Imam Nawawi bukan lainnya  menyatakan sedemikian  tanpa dalil yang pas, tapi sekedar taklid buta kepada pengikut – pengikut madzhab Syafii bukan madzhab lainnya yang menghalalkan hewan tsb tanpa dalil .


Untuk pernyataan anda:
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: “Hal itu (dibolehkannya burung merpati, red) ditetapkan sebagai hukum oleh ‘Umar, ‘Utsman, Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas, serta Nafi’ bin ‘Abdul Harits.” (Al-Mughni 3/274)

Sungguh keliru sekali bukan agak benar bila anda menyatakan seperti itu. Saya sebutkan arabnya sbb:
المغني - (ج 7 / ص 343)
وَفِي الْحَمَامِ شَاةٌ .
حَكَمَ بِهِ عُمَرُ ، وَعُثْمَانُ ، وَابْنُ عُمَرَ ، وَابْنُ عَبَّاسٍ ، وَنَافِعُ بْنُ عَبْدِ الْحَارِثِ ، فِي حَمَامِ الْحَرَمِ ، وَبِهِ قَالَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ ، وَعَطَاءٌ ، وَعُرْوَةُ ، وَقَتَادَةُ ، وَالشَّافِعِيُّ ، وَإِسْحَاقُ .


ِArtinya :
     Untuk membunuh merpati ( di tanah haram ) di wajibkan membayar daam yaitu menyembelih kambing. Sed emikian ini di hukumi oleh Umar, Utsman, Ibn Umar, Ibn Abbas, Nafi` bin Abd Harits ketika membunuh merpati tanah haram. Ia juga pendapat Sa`id bin Al Musayyib, Atha`, Urwah, Qatadah, Syafi`I  dan Ishak.   Al Mughni  343/7
Komentarku ( Mahrus ali )


Jadi mereka bukan menghalalkan merpati sebagaimana yang anda duga. Tapi bagi orang yang ketepatan membunuh merpati tanah haram, maka harus bayar dam menyembelih kambing. 

maksud tajam adalah yg digunakan utk membunuh mangsanya contoh burung garuda, elang dan sejenisnya) .jd ayam tdk termasuk.
maksud dari unggas yang berkuku tajam adalah seperti burung elang. kuku elang dapat melukai kulit manusia meskipun tanpa gesekan yang keras, hal tersebut tidak terjadi pada kuku ayam.

Kuku tajam lainnya adalah : harimau, singa, beruang, dan pemakan daging pada umumnya. 


Saya tidak tahu, apakah Mahrus Ali sudah pernah melihat hadits riwayat Tirmidzi ini apa belum:

Hadits Tirmidzi 1749

حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ أَخْزَمَ الطَّائِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو قُتَيْبَةَ عَنْ أَبِي الْعَوَّامِ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ زَهْدَمٍ الْجَرْمِيِّ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى أَبِي مُوسَى وَهُوَ يَأْكُلُ دَجَاجَةً فَقَالَ ادْنُ فَكُلْ فَإِنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْكُلُهُ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ وَقَدْ رُوِيَ هَذَا الْحَدِيثُ مِنْ غَيْرِ وَجْهٍ عَنْ زَهْدَمٍ وَلَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ حَدِيثِ زَهْدَمٍ وَأَبُو الْعَوَّامِ هُوَ عِمْرَانُ الْقَطَّانُ
Aku pernah menemui Abu Musa, & ternyata saat itu ia sedang makan daging ayam. Maka ia berkata, Mendekatlah, karena sungguh, aku telah melihat Rasulullah memakannya. Abu Isa berkata; Ini adl hadits Hasan. Dan hadits ini juga telah diriwayatkan lebih dari satu dari Zahdam, namun kami tak mengetahuinya kecuali dari haditsnya Zahdam. Abu Al Awwam adl Imran Al Qaththan.

Hadits Tirmidzi 1750

حَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ زَهْدَمٍ عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْكُلُ لَحْمَ دَجَاجٍ قَالَ وَفِي الْحَدِيثِ كَلَامٌ أَكْثَرُ مِنْ هَذَا وَهَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَقَدْ رَوَى أَيُّوبُ السَّخْتِيَانِيُّ هَذَا الْحَدِيثَ أَيْضًا عَنْ الْقَاسِمِ التَّمِيمِيِّ وَعَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ زَهْدَمٍ
makan daging ayam. Di dalam hadits ini terdapat ungkapan yg lebih panjang daripada ini. Dan hadits ini adl hadits hasan shahih.
Ayyub As Sakhtiyani juga telah meriwayatkan hadits ini dari Al Qasim At Tamimi & dari Abu Qilabah dari Zahdam.


Baca Selengkapnya ...
Saturday, July 28, 2012

Mahrus Ali Melarang Mengkhususkan Ziarah di Waktu Tertentu

Dalam buku  “Mantan Kyai NU Menggugat Tahlilan Istighatsah dan Ziarah Para Wali” (hal. 556), Mahrus Ali berkata:

“Beberapa kekeliruan seputar ziarah kubur:
1. Mengkhususkan waktu-waktu tertentu dalam melakukan ziarah kubur, seperti pada hari Jum’at legi, bulan Sya’ban ataupun pada hari Idul Fitri, atau dengan kata lain menjadikan kuburan sebagai Ied dan tempat berkumpul-kumpul untuk menyelenggarakan acara Ibadah di sana, Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah jadikan kuburanku sebagai Ied (perayaan).(HR. Abu Daud).”

Tanggapan kami:
Berikut ini kami paparkan dalil-dalil diperbolehkannya melakukan ritual ibadah pada hari-hari tertentu :
Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Umar:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِي مَسْجِدَ قُبَاءٍ كُلَّ سَبْتٍ مَاشِيًا وَرَاكِبًا وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَفْعَلُهُ
(صحيح البخاري)
“Nabi SAW selalu mendatangi masjid Quba setiap hari sabtu baik dengan berjalan kaki maupun dengan mengendarai kendaraan, sedangkan Abdullah selalu melakukannya.” (HR. Imam al-Bukhari dalam Sahih al-Bukhari I/398 hadits 1174)

Dalam mengomentari hadits ini al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:
الحديث  على اختلاف طرقه دلالة على جواز تخصيص بعض الأيام ببعض الأعمال الصالحة والمداومة على ذلك ، وفيه أن النهي عن شد الرحال لغير المساجد الثلاثة ليس على التحريم
“Hadits ini dengan sekian jalur yang berbeda menunjukkan akan diperbolehkannya menjadikan hari-hari tertentu untuk sebuah ritual yang baik dan istiqamah. Hadits ini juga menerangkan bahwa larangan bepergian ke selain tiga masjid (Masjid al-Haram, Masjid al-Aqsa, dan Masjid Nabawi tidak haram). (al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari III/69, Dar al-Fikr Beirut)

Hadits yang diriwayatkan oleh Suhail bin Abi Shalih al-Taimi:
كان النبي صلی الله علیه و آله يأتي قبور الشهداء عند رأس الحول فيقول: السلام عليكم بما صبرتم فنعم عقبى الدار و
وكان ابو بكر و عمر وعثمان يفعلُون ذلك
“Nabi SAW mendatangi kuburan orang-orang yang mati syahid ketika awal tahun, beliau bersabda: “Keselamatan semoga terlimpah atas kamu sekalian, karena kesabaranmu dan sebaik-baiknya tempat kembali ke surga. “Shahabat Abu Bakar, Umar dan Utsman juga melakukan hal yang sama seperti Nabi SAW.” (diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Mushannaf, III/537 dan al-Waqidi dalam al-Maghazi).

Hadits di atas menerangkan kebolehan melakukan amaliah pada waktu tertentu, sedangkan hadits yang dijadikan landasan oleh Mahrus untuk melarang ziarah kubur dalam waktu tertentu terlihat kurang tepat. Dalam konteks ini Ali bin Abi Thalib mengatakan:
منالسّنّة زيارة جبانة المسلمين يوم العيد وليلته
“Diantara sunnah Nabi SAW adalah berziarah ke kuburan kaum Muslimin di siang hari raya dan malamnya.” (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra).

Catatan penting bagi Mahrus, bahwa polemik yang terjadi antara penganut aliran Wahabi dan Ahlussunnah wal Jama’ah sudah lama terjadi sejak abad ketujuh yang diprakarsai oleh Ibnu Taimiyah, akan tetapi dalil-dalil yang ia gunakan tidak mengena sama sekali. Apakah kira-kira hadits di atas absen dari ingatan Mahrus Ali dan Wahabi lainnya? ^_^

(Buku Kiai NU atau Wahabi Yang Sesat Tanpa Sadar Jawaban Terhadap Buku-Buku Mahrus Ali)
Mahrus Ali
Baca Selengkapnya ...

Mahrus Ali Shalat Memakai Sandal

Di zaman modern seperti sekarang ini ternyata masih ada juga yang shalat dengan memakai alas kaki. Mereka memakainya dengan sengaja tanpa alasan-alasan mendesak. Lihatlah contoh seorang Mantan Kyai dari Jawa Timur, Mahrus Ali bersama komplotannya (lihat gambar dibawah). Orang-orang semacam ini merasa paling mengamalkan sunnah padahal ia tidak memahaminya dan tidak paham tentang maksud nash-nash dan hukum yang di-istinbathkan.

عن عبد الله بن السائب قال حضرت رسول الله صلى الله عليه و سلم يوم الفتح وصلى في قبل الكعبة فجلع نعليه فوضعهما عن يساره

Dari Abdullah bin Saib RA katanya: “Pada hari Fathu Mekkah saya ikut hadir bersama Rasulullah Saw. Beliau shalat di dalam Ka’bah dengan melepas alas kaki. Alas kaki itu diletakkan di sebelah kiri beliau ……..” (HR. Ahmad dalam Musnadnya [3:411], Abu Dawud [1:75], An-Nasa’i [2:74], Ibnu Majah [1:460], Ibnu Khuzaimah [2:106], Ibnu Hibban [5:564], Al-Hakim [1:259], Al-Baihaqi [2:432] dan yang lainnya. Hadits ini shahih)

وعن سعيد بن يزيد الازدي قال: سألت أنس بن مالك: أكان النبي صلى الله عليه وسلميصلّي في نعليه؟ قال: نعم
Dari Sa’id bin Zaid Al-Azdiy, tuturnya, saya bertanya kepada Anas bin Malik, “Apakah Nabi Saw itu shalat dengan mengenakan alas kaki?” Anas RA menjawab, “Ya.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahihnya [1:494], dan lainnya.)

Dalam Fathul Bari [1:494], Ibnu hajar berkata, “Ibnu Baththal berkomentar, “Hadits ini dipahami bahwa alas kaki dipakai jika tidak ada najisnya, selain itu ia merupakan rukhsah / dispensasi bukan termasuk hal yang disunnahkan, demikian dinyatakan oleh Ibnu Daqieq Al-’ld. Karena ia tidak termasuk ke cakupan makna yang dituntut dari shalat. Alas kaki itu sekalipun pakaian perhiasan, namun bersentuhannya dengan tanah yang banyak mengandung najis telah membuatnya tidak masuk ke tingkatan itu”.

Sekarang ini memakai alas kaki dalam shalat tidak punya makna selain bersilat lidah bagi orang yang mengklaim mengamalkan sunnah padahal ia tidak memahaminya dan tidak paham tentang maksud nash-nash dan hukum yang di-istinbath (dikeluarkan) darinya!.

Masjid sayid kita Rasulullah Saw itu lantainya tanah, belum ada karpet seperti sekarang. Sebagai bukti, ketika sujud di musim hujan, nampak pada hidung Rasulullah Saw tanah yang melekat.

Abu Sa’id Al-Khudri RA menceritakan, “Atap masjid Rasulullah Saw itu dari pelepah daun korma dan yang kami lihat dari langit. Kemudian datanglah gumpalan awan menghujani kami. Maka kami shalat bersama Rasulullah Saw sampai aku melihat bekas tanah bercampur air pada kening dan ujung hidung Rasulullah Saw”. (HR. Al-Bukhari [2:298] dalam Fathul Bari).

Hadits ini menegaskan bahwa lantai masjid Nabi itu berdebu sehingga tidak mengapa shalat mengenakan alas kaki atau sandal. Berbeda dengan masjid sekarang. Masjid sekarang lantainya keramik dan diberi beraneka ragam karpet, selain itu ada rak-rak sepatu dan sandal yang disediakan di tempat khusus. Maka tidak patut orang masuk dengan memakai alas kaki. Selain merusak lantai juga mengotorinya padahal Islam menganjurkan kebersihan. Kami kira setiap yang berakal pasti setuju dengan apa yang kami katakan ini!.

Jika di tanah lapang atau tempat terbuka tanpa ada alas, boleh seseorang melakukan shalat dengan mengenakan alas kaki asalkan alas kakinya suci dan lentur bisa mengikuti gerakan kaki seperti saat sujud. Kalau keras dan kaku seperti sepatu bot yang dikenakan tentara tidak lentur, susah untuk sujud, maka shalat dengannya tidak sah karena shalatnya menjadi tidak sempurna. Kecuali ketika sedang perang dan berhadapan dengan musuh yang tidak mungkin alas kaki dilepas, maka sah shalat dengannya.

Ketika itu berlakulah hadits Syaddad bin Aus yang marfu’, “Hendaklah kamu berbeda dengan Yahudi dan Nasrani. Sesungguhnya mereka tidak shalat dengan menggunakan khuf (stewel) dan sandal”. HR. Ibnu Hibban dalam Shahihnya [5:561] dengan lafazh ini. Juga diriwayatkan Abu Dawud [1:176], Al-Hakim [1:260], Al-Baihaqi [2:432] dan yang lainnya tanpa kata-kata “dan nasrani”. Sekarang ini kita saksikan orang Yahudi dan Nasrani memasuki gereja dan kuilnya dan sembahyang dengan mengenakan sepatu. Dalam sunnah yang shahih disebutkan bahwa Nabi Saw pernah melepas sandalnya dalam shalat. Ini menunjukkan dianjurkannya melepas alas kaki dan makruh mengenakannya dengan alasan menyelisihi orang-orang musyrik. Kami sangat heran kepada orang yang menyuruh orang lain dewasa agar shalat dengan memakai sandal supaya beda dengan Yahudi dan Nasrani dan membiarkan kaum muslimin tenggelam dalam pikiran dan perbuatannya mengikuti Yahudi dan Nasrani, tidak menyelamatkannya. Mereka menyerukan dipakainya alas kaki saat shalat dengan alasan supaya beda dengan yahudi. Kami tidak tahu apakah mereka menipu diri sendiri atau menipu orang lain? Allah Maha meliputi di balik semua itu.

Wallahu al-Muwaffiq.

Referensi:
► Boleh dicopas!
█║▌│█│║▌║││█║▌║▌║
Verified Official by MoLuFir @2012

Ini adlh poto jamaah alcingkrangi, anak buah si markus sholat tanpa alas, lgsg di atas tanah, katanya niru nabi.. tapi kok pake sandal jepit ya... ?
Potret Badui Nejd, Sholat jum'atnya di rumah, gak di mesjid. lihat foto bawah.
Baca Selengkapnya ...
Friday, July 27, 2012

Mahrus Ali Meragukan Kitab al-Ruh Karangan Ibnu Qoyyim al-Jauziyah

Dalam kitab al-Ruh karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (ulama rujukan wahabi) terdapat beberapa kisah yang mengindikasikan bahwa orang yang sudah  meninggal dapat memberikan manfaat terhadap orang yang masih hidup. Tentunya hal ini sangat berseberangan dengan keyakinan kaum Wahabi pada umumnya, termasuk juga Mahrus Ali.  Dan ketika argumen-argumen ini disodorkan kepada Mahrus Ali sering ditanggapi dengan kurang obyektif.

Seringkali Mahrus Ali dengan berani menyalahkan hasil ijtihad guru-guru besar di kalangan Wahabi, seperti Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ibnu Taimiyah, dan Muhammad bin Abdul Wahhab tentang apa yang mereka sampaikan bertentangan dengan keyakinan umum ummat Wahabi. Bahkan yang lebih parah lagi Mahrus Ali mengangggap bahwa al-Ruh bukan karya Ibnu Qayyim!.


Dalam buku Sesat Tanpa Sadar (hal. 95), Mahrus Ali berkata :
“Tim LBM NU Jember dalam MKB (hal. 16-17) menyitir pernyataan Ibnu Qayyim al-Jauziyah  ulama besar yang biasanya tidak punya harga di kalangan mereka, sebagai berikut:
Nabi SAW telah menetapkan kepada umatnya, apabila mereka mengucapkan salam kepada ahli kubur agar mengucapkannya seperti layaknya salam yang diucapkan kepada orang yang masih hidup yang ada di hadapannya, dan ini berarti berbicara kepada orang yang mendengar dan berakal, andaikan tidak demikian, niscaya khitab ini sama dengan berbicara kepada sesuatu yang tidak ada atau tidak berjiwa. Ulama salaf sepakat tentang hal ini, dalil-dalil atsar seluruhnya mutawatir dari mereka bahwa mayyit mengetahui ziarahnya orang yang hidup, dan merasa senang dengannya. (al-Ruh, hal. 24)

Setelah menyebutkan pernyataan di atas Mahrus Ali berkomentar dalam bukunya:
”Sebagaimana disampaikan oleh Ulama Tahqiq, sangat meragukan jikalau kitab tersebut disandarkan kepada Ibnu Qayyim, bisa saja beliau mengarangnya tetapi pada waktu dalam permulaan mencari ilmu.” (Sesat Tanpa Sadar, Mahrus Ali, hal. 95)

Sebenarnya dengan perkataan itu Mahrus Ali harus mengajukan bukti bahwa kitab tesebut memang bukan karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Alangkah bagusnya andaikata Mahrus Ali mau membaca literatur Ibnu Qayyim yang seperti ini dengan pandangan ingin mengetahui kebenaran.

Untuk menjawab komentar Mahrus di atas, kami akan mengutip pernyataan al-Syaikh Bakar Abdullah Abu Zaid, salah satu ulama senior wahabi, beliau berkata dalam kitab Ibnu Qayyim al-Jauziyyah Hayatuhu, Atsaruhu Wa Mawariduhu  tentang keabsahan nisbah kitab al-Ruh terhadap Ibnu Qayyim al-Jauziyyah:

“Sudah populer di kalangan para penuntut ilmu bahwasannya kitab al-Ruh dikatakan bukan sebagai karya Ibnu Qayyim, seandainya memang itu adalah tulisan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, berarti beliau telah menulisnya sebelum menjadi murid Ibnu Taimiyah. Pernyataan inilah yang sering dibicarakan para ulama di majelis-majelis ilmu, akan tetapi saya tidak pernah mendapatkannya terbukukan dalam satu kitab, barangkali memang ada, akan tetapi belum terbaca oleh kami.” Permasalah yang timbul ini menggerakkan saya untuk mengkaji kembali serta membaca sekali lagi al-Ruh dari pertama sampai akhir, yang menghasilkan dua kesimpulan sebagai berikut:
  1. Kitab al-Ruh murni karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, hal ini didasarkan pada beberapa alasan: Pertama, kitab ini banyak dikutip oleh beberapa ulama terkemuka dalam kitab-kitab mereka, seperti al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani. Kedua, Ibnu Qayyim mengisyaratkan akan adanya kitab ini dalam kitabnva yang lain yaitu Jala’ al-Afham di bab keenam, tatkala beliau menerangkan satu hadits, beliau berkata: ” Aku tulis hadits ini secara komprehensif dalam kitabku al-Ruh”. Ketiga, kitab ini mendapat apresiasi tinggi dari al-Imam Burhanuddin al-Biqa’i salah seorang murid al-Hafizh Ibnu Hajar, dengan menulis intisari kitab tersebut, dan beliau beri nama Sirr al-Ruh. Keempat, dalam kitab al-Ruh Ibnu Qayyim menyebut kitab yang lebih besar, yaitu Ma’rifah al-Ruh Wa al-Nafs, kitab ini juga beliau sebutkan dalam Jala’ al-Afham. Kelima, kalau kita betul-betul pengalaman membaca karya-karya Ibnu Qayyim serta memahami seluk-beluk bahasa yang digunakan, kita akan tahu bahwa al-Ruh merupakan tulisan Ibnu Qayyim.
  2. Kitab al-Ruh ditulis setelah beliau berguru dengan Ibnu Taimiyah, hal ini meninjau dua alasan: Pertama, kutipan beliau akan pernyataan Ibnu Taimiyah dalam kitab tersebut, malah kitab tersebut beliau tulis setelah gurunya tersebut meninggal. Kedua, dalam urusan Aqidah beliau mengikuti konsep aqidah Ibnu Taimiyah, yaitu pembagian tauhid menjadi tiga, uluhiyyah, rububiyyah, dan asma’ wa al-sifat.
Kesimpulan dari pernyataan Syaikh Bakar Abdullah Abu Zaid sangat jelas, bahwa kitab al-Ruh adalah karya Ibnu Qayyim al-Jauziyah, serta ditulis setelah berguru kepada Ibnu Taimiyah. Bahkan kitab tersebut ia tulis setelah gurunya meninggal. Yang menjadii pertanyaan, apa yang melandasi pendapat Mahrus Ali bahwa kitab al-Ruh bukan karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah? Apakah hanya dikarenakan kitab tersebut banyak menyebutkan hal-hal yang berseberangan dengan faham Wahabi?
Wallahu a’lam.
(Oleh: Ust. M. Idrus Ramli dalam buku “Kiai NU atau Wahabi yang Sesat Tanpa Sadar?”)

Inikah Ulama Anda? Sholat Jum'at di rumah, di atas tanah, memakai sendal.
Baca Selengkapnya ...